Oleh: Cholid Bachri
Geliat politik dari lokal sampai nasional sekarang ini sedang
hangat. Seperti yang telah kita ketahui bahwa rakyat Indonesia akan menghadapi pesta
demokrasi yang akan dilaksanakan secara serentak. Hal ini cukup unik, karena
event ini belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Jika kita menelaah
keadaan, ada satu hal yang sangat menarik untuk kita perbincangkan, dimana
sekarang NU tidak lagi menjadi penonton di tengah-tengah hiruk pikuk pesta
demokrasi, tapi ikut bermain di lapangan.
Jika kita berbicara politik skala nasional, kita selaku generasi
intelektual muda NU patut bersyukur karena secara politik, NU sedang harmonis
dengan kaum nasionalis di bawah kepemimpinan Jokowi. Maka tidak heran kalau NU
pun mendapat tempat-tempat yang strategis di berbagai lini pemerintahan karena
adanya kesamaan ide dalam membangun negara. Karena masa-masa sekarang ini
sedang berada di posisi strategis, maka ini adalah moment yang sangat tepat dan
pas (golden time) untuk kita gunakan semaksimal mungkin memperkuat barisan.
Selain itu, kita juga musti mempertahan posisi strategis yang kita duduki
sekarang ini. Namun, ada satu hal yang harus kita ketahui bahwasannya kader NU
di tingkat lokal banyak yang tidak mampu untuk memaksimalkan moment tersebut sehingga
banyak posisi strategis yang seharusnya diisi oleh orang-orang kita, diambil
oleh orang lain. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan orang-orang kita untuk
mengisi posisi tersebut. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kita lemah di
bidang teknologi. Mungkin ini wajar karena karakter orang NU lebih
memprioritaskan bidang agama dan tidak memfokuskan pada IT (Information and
Technology). Tapi bukan hal yang tidak mungkin bahwa kelemahan kita akan
menjadi bumerang bagi kita sendiri jika kita tidak berbenah. Mengahawatirkan
bukan?
Melihat betapa pentingnya IT dalam rangka memperkuat barisan Ahlussunah
Wal Jamaah yang bertarung di lini pemerintahan, saya menjadi sadar bahwa untuk
menjaga eskistensi Ahlussunah Wal Jamaah, ngomong (teoritis) dan mikir saja
tidak cukup. Keahlian dalam bidang teknologi juga sangat penting. Menurut kabar
yang yang masuk ke telinga penulis, seharusnya PANWASCAM dan PPK menjadi ladang
garapan kader-kader NU di tingkat kecamatan. Ironis sekali jika kader NU di
tingkat kecamatan maupun desa banyak yang tidak melek IT sehingga mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Untuk itu, yang harus kita lakukan
sekarang ini adalah pembenahan dari akar rumput organisasi demi menjaga
eksistensi organisasi di masa yang akan datang.
Melihat realita di atas, sebagai generasi intelektual muda Ahlussunnah
Wal Jama’ah, secara tidak langsung PMII seharusnya menjadi yang terdepan dan
bertanggung jawab dalam menjawab kegelisahan di atas. Akan tetapi, realita yang
ada menurut penulis belum cukup untuk menjadi solusi dari
kegelisahan-kegelisahan tersebut. Hal ini dikarenakan, penulis banyak menemukan
kader-kader yang ada di komisariat maupun cabang yang belum melek IT. Padahal,
banyak anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa itu “pinter
nyekel komputer”. Akan sangat tidak lucu jika mahasiswa yang notabenenya
seorang kader PMII tidak mengerti atau tidak mampu mengoperasikan komputer. Lalu,
bagaimana bisa PMII menjadi solusi di masa depan jika masih seperti ini? Memang
benar jika kita adalah mahasiswa yang berasal dari kampung, tapi hal ini tidak
seharusnya kader PMII tidak paham IT. Dan sekali lagi yang bisa saya katakan
adalah “kita harus berbenah”.
Mungkin apa yang dilakukan oleh pengurus cabang sekarang ini sudah
tepat bahwasannya Cabang Lampung tengah lebih memfokuskan diri pada
jurnalistik. Akan tetapi bagaimana bisa anak-anak komisariat bisa menulis jika
tidak lihai dalam mengoperasikan komputer? Untuk itu, hal yang paling tepat
untuk kita lakukan selaku pengurus cabang adalah memberantas buta IT terlebih
dahulu. Padahal pengurus cabang juga ada memiliki dalam bidang tersebut.
Tinggal bagaimana eksekusinya.
Pepatah mengatakan; Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian, bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian. Artinya: apabila ingin
mendapatkan kesenangan atau keberhasilan di kemudian hari haruslah berani
bersusah payah terlebih dahulu.
Pepatah di atas seakan-akan mengingatkan kepada kita selaku
generasi intelektual muda Ahlussunnah Wal Jama’ah, untuk mencapai keberhasilan
di masa depan, maka kita harus bersusah payah terlebih dahulu. Insyallah jika mulai
detik ini kader-kader PMII mau berproses secara maksimal (belajar apapun yang
ada di PMII), kader mampu menjawab kegelisahan-kegelisahan yang sedang terjadi
sekarang ini dan pada akhirnya mampu menjaga serta mengawal ideologi
Ahlussunnah Wal Jama’ah di masa yang akan datang.