Blognya PMII Kalirejo

Friday, October 28, 2016

Insan Ulul Albab Menurut Pakar Pendidikan



Sebagai kader PMII, sering kali kita mendengar dan membaca kata Ulul Albab baik di forum organisasi PMII maupun di dalam Al-qur’an. Istilah Kader Ulul Albab di dalam organisasi PMII merupakan manifestasi dari tujuan organisasi PMII itu sendiri yaitu: “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepda Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”
            Menurut A.M. Saefudin[1], Ulul Albab adalah pemikir, intelektual yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala dan proses alamiah induktif dan deduktif, serta intelektual yang membangun kepribadiannya dengan dzikir dalam keadaan dan situasi apapun sehingga mampu memanfaatkan gejala, proses dan sarana alamiah ini untuk kemaslahatan dan kebahagiaan seluruh umat manuusia. Ulul albab adalah intelektual muslim yang tangguh, yang tidak hanya memiliki ketajaman analisis obyektif, tapi juga subyektif.
            Maka istilah Ulul Albab yang dikemukakan oleh A.M. Saefudin tersebut terutama difahami dalam QS. Ali Imran: 190 – 191. Jalaluddin Rahmat (1986) mengemukakan 5 (lima) tanda Ulul Albab menurut Al-Qur’an yaitu: (1) bersungguh-sungguh mencari ilmu, termasuk di dalamnya kesenangannya mensyukuri nikmat Allah di langit dan di bumi (QS. Ali Imran: 7, 190); (2) mampu memisahkan yang buruk dengan yang baik, kemudian ia memilih yang baik walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun keburukan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang (QS. Al-Maidah: 100); (3) kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain (QS. Az-zumar: 18); (4) bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakat, bersedia memberi peringatan kepada masyarakat, diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka jika terjadi ketimpangan, dan diprotesnya jika terjadi ketidakadilan, ia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, ia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, ia tampil di masyarakat, terpanggil hatinya memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat (QS. Ibrahim: 52, Ar-ra’d: 91-22); dan (5) tidak takut kepada siapapun kecuali Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 197; At-Thalaq: 10).
            Istilah Ulul Albab memang bahasa Al-Qur’an, sehingga untuk memahaminya dibutuhkan kajian tentang nash-nash yang berbicara tentang Ulul Albab. Agar diperoleh  pemahaman yang utuh mengenai istilah tersebut, maka diperlukan kajian-kajian yang mendalam terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang Ulul Albab dalam Al-Qur’an, baik dari segi pengertian lughawi maupun dari segi maknawi yang dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan dan munasabah (keserasian) antara ayat yang berbicara tentang Ulul Albab dengan ayat sebelumnya.
            Kata Ulul Albab disebut sebanyak 16 kali dalm Al-Qur’an, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah: 179, 197, 269; QS. Ali Imran: 7, 190; QS. Al-Maidah: 100; QS. Yusuf: 111; QS. Ar-ra’d: 19; QS. Ibrahim: 52; QS. Shad: 29, 43; QS. Az-zumar: 9, 18, 21; QS. Al-Mukmin: 54; QS. At-Thalaq: 10.
            Ditinjau dari pengertian lughawi, kata Albab adalah bentuk jamak dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamakan lubb. Dengan demikian kata Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan berfikir. Dalam kaitannya dengan QS. Ali Imran ayat 190 -191, maka orang yang berdzikir dan berfikir (secara murni) atau merenungkan fenomena alam raya, maka akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT.
            Kajian terhadap pesan, kesan dan munasabah dari ayat-ayat yang berbicara tentang Ulul Albab (sebanyak 16 ayat) di atas diperoleh temuan, bahwa Ulul Albab mempunyai karakteristik sebagai berikut:

  1. Orang yang memiliki akal dan pikiran yang murni dan jernih yang tidak diselubungi oleh kabut-kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Termsuk di dalamnya adalah orang yang mampu menyelesaikan masalah dengan adil, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah.
  2. Orang yang siap dan mampu hidup dalam suasana pluralisme dan berusaha menghindari interaksi yang dapat menimbulkan disharmoni, kesalahfahaman dan keretakan hubungan.
  3. Orang yang mampu menangkap pelajaran, memilah dan memilh mana jalan yang benar dan baik serta mana jalan yang salah dan buruk, dan mampu menerapkan jalan yang benar dan baik (jalan Allah) serta menghindar dari jalan yang salah dan buruk (jalan syetan).
  4. Orang yang giat melakukan kajian dan penelitian sesuai dalam bidangnya serta berusaha menghindari fitnah dan malapetaka dari proses dan hasil kajian atau penelitiannya.
  5. Orang yang mementingkan kualitas hidup di samping kuantitasnya, baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatannya.
  6. Orang yang selalu sadar akan kehadiran Tuhan dalam segala situasi dan kondisi, baik saat bekerja maupun beristirahat, dan berusaha mengenali Allah dengan kalbu (dzikir) serta mengenali alam semesta dengan akal (fikir) sehingga sampai kepada bukti tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT.
  7. Orang yang concern terhadap kesinambungan pemikiran dan sejarah, sehingga tidak mau melakukan loncatan sejarah. Dengan kata lain, ia mau menghargai khazanah intelektual dari para pemikir, cendekiawan atau ilmuan sebelumnya.
  8. Orang yang mepunyai ketajaman hati dalam menangkap fenomena yang dihadapinya.
  9. Orang yang mampu dan bersedia mengingatkan orang lain berdasarkan dengan nilai-nilai Ilahi dengan cara yang lebih komunikatif.
  10. Orang yang suka dan merenungkan dan mengkaji ayat-ayat Tuhan baik yang tanziliyah (wahyu) maupun kauniyah (alam semesta).
  11. Orang yang sabar dan tahan uji ketika ditimpa musibah dan diganggu oleh syetan (jin dan manusia).
  12. Orang yang mapu membedakan mana yang lebih bermanfat serta menguntungkan bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak dan mana pula yang kurang bermanfaat bagi dirinya.
  13. Orang yang bersikap terbuka terhadap pendapat, ide atau teori dari manapun datangnya, dan ia selalu menyiapkan grand-concep/theori atau kriteria yang jelas yang dibangun dari petunjuk wahyu, kemudian dijadikan sebagai piranti dalam mengkritisi pendapat, ide atau teori tersebut, untuk selanjutnya berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengikuti pendapat, ide atau teori yang terbaik.
  14. Orang yang sadar dan peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup.
  15. Orang yang berusaha mencari petunjuk dan pelajaran dari fenomena historik atau kisah-kisah terdahulu.
  16. Orang yang tidak mau berbuat onar, keresahan dan kerusuhan serta berbuat makar di masyarakat.
            Dari pemaparan di atas menunjukkan bahwa orang yang mempunyai karakter Ulul Albab merupakan manusia yang mampu mengejawantahkan perintah dan larangan Tuhan di tengah-tengah masyarakan serta mampu menjadi panutan dan merubah tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai Ilahi.




[1] H. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Islamisasi Pengetahuan, (Nuansa cendikia: Bandung), 2003, hlm 245

No comments:

Post a Comment

Silahkan tulis komentar anda di sini